Selama dua hari, tepatnya
pada 23-24 Desember 2023, Majelis Lingkungan Hidup Jawa tengah bersama Lazizmu
Pekalongan mengadakan pelatihan perimtisan desa Wisata Berbasis Konservasi
(Ecotourisme) di Desa Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan Jawa Tengah.
Kegiatan pelatihan ini
difasilitasi oleh Lazizmu Pekalongan. MLH Jawa Tengah menjadi fasilitator perintisan
desa wisata, dimana pemateri inti adalah Kang Tris Desa Menari, anggota MLH
Jawa Tengah dan pegiat desa wisata yang sudah berpengalaman serta berhasil
meraih beragam prestasi nasional di bidang pengembangan desa.
Menjelang siang di hari Sabtu
(23/12/23), kira-kira pukul 10.00 WIB, tim MLH Jawa Tengah tiba di kantor Lazizmu
Pekalongan, tepatnya di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Kajen. Kami
berbincang-bincang sejenak dengan bapak Sutiknyo, Direktur Lazizmu Pekalongan,
dilanjutkan dengan makan siang bersama, kemudian berangkat ke Mendolo sekitar
pukul 12.00 WIB.
Perjalanan ke desa Mendolo menjadi kenangan yang tak terlupakan. Kami melewati hutan durian, lengkap dengan warung-warung penjual durian yang berjejer sepanjang jalan. Lalu juga melewati objek wisata air sungai Lolong, Pekalongan yang sangat ramai sekali menjelang liburan akhir tahun. Jalanan yang dilalui berkelok-kelok, menyisiri sela-sela punggung bukit dan pematang sawah.
Usai melewati objek wisata Lolong, ada pertigaan jalan dan kami belok kanan, memasuki jalan menuju desa Mendolo yang letaknya di atas bukit. Jalan terus menanjak, berkelok-kelok, dan semakin “menantang”. Namun, kita akan dibuat takjub oleh pemandangan alamnya yang sangat luar biasa asri dan terjaga. Kami seolah masuk dalam terowongan hijau pohon-pohon besar yang berusia ratusan tahun. Udaranya jangan ditanya lagi, sangat segar dan sejuk.
Di sebelah kiri, kita bisa melihat landscape barisan pegunungan Lebakbarang yang eksotis dari posisi tinggi, serta hamparan hutan di bawahnya. Terlihat pula awan tipis yang mengambang di sela-sela bukit yang ijo royo-royo oleh keanekaragaman hayatinya yang masih terjaga. Lalu di sebelah kanan terdapat bukit dan tebing yang rapat dengan berbagai tanaman produktif, seperti kopi, pinus, durian, pete, jengkol dan tanaman pangan lainnya.
Hampir tak ada sejengkal tanah yang kosong dari tumbuhan. Namun uniknya, semua bisa tumbuh bersama dan subur-subur tanpa harus dipupuk. Semua saling mendukung kehidupan, berjalan secara otomatis dalam kerangka sunatullah.
Dari hutan, semua bisa hidup bersama. Manusia bisa hidup, hewan hidup, tumbuhan, hingga mikroba pun hidup. Ini menunjukkan bahwa pertanian tak harus dilakukan dengan cara monokultur, dimana harus membabat hutan, melenyapkan biodiversity, demi penanaman satu jenis pohon saja. Agroforestri adalah pendekatan yang tepat, sebab tidak menyebabkan penggundulan hutan yang berpotensi menimbulkan bencana longsor, hilangnya mata air, serta lenyapnya humus tanah.
“Nyeruput” Madu Langsung dari Sarangnya
Kami tiba di desa Mendolo
sekitar pukul satu siang. Setelah turun dari mobil, kami “berolahraga” mendaki
jalan menanjak menuju rumah mbak Atun (Khomyatun) yang bersebelahan dengan
gedung Balai Desa Mendolo, lokasi acara pelatihan. Kami melihat banyak capung
beterbangan bebas yang menandakan bahwa kualitas air dan udara di desa Mendolo
masih sangat bersih.
Kami disambut dengan
sangat ramah oleh tuan rumah, dijamu dengan aneka jajanan tradisional, teh dan
kopi hangat dari hutan, hingga makan siang dengan sayur pakis khas Mendolo,
ikan, lalapan, serta sambal hijau yang nikmatnya tak terlupakan.
Usai beramah tamah, kami
diajak Pak Tarjuki untuk melihat sarang lebah madu yang sedari tadi membuat tim
MLH PWM Jateng penasaran. Kami juga ingin tahu aneka bunyi-bunyi yang ramai dan
indah didengar yang katanya berasal dari serangga tonggeret. Tanpa
berlama-lama lagi, kami pun bergegas menuju lokasi penangkaran lebah madu di area
hutan yang terletak di belakang rumah penduduk.
Hutan di Desa Mendolo
bentuk hutannya adalah Agroforestri, dimana tanaman dan makhluk lainnya hidup
bersama saling menopang dan bergotong-royong.
Selain keragaman
hayatinya yang terpelihara, ada yang tak kalah dahsyat, yakni sikap hidup
masyarakat Mendolo yang sejak puluhan tahun lalu selalu merawat hutannya.
Mereka memandang alam sebagai sahabat, bukan sebagai objek yang harus
ditaklukkan dan dieksploitasi sebesar-besarnya demi kepentingan manusia.
Kearifan inilah yang patut diteladani.
Ada budaya dan peradaban
masyarakat para leluhur (kakek dan neneknya) Desa Mendolo yang patut kita
apresiasi dan tiru, yaitu tradisi “Menanam dan Selalu Menanam serta Menjaga dan
Melestarikan Tanamannya sampai Berbuah”. Jenis pohon yang ditanam adalah
kayu-kayuan (seperti: durian, pinus, cengkeh, albasia, dll), buah-buahan dan
tanaman produktif tumpang sari (seperti: kopi, pisang dll), tanaman umbi-umbian
(tanaman pangan), dan berbagai jenis tanaman hortikultura.
Konon di Desa Mendolo,
ada 80 jenis varian lokal tanaman hortikultura organic dan ada 25 jenis varian local
durian.
Sepanjang jalan, kami menyusuri kebun kopi yang berada di bawah pohon-pohon besar. Beberapa titik lahan ada pohon nanas yang bergerombol. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah pohon durian yang sangat besar, hingga kedua tangan kami tak sanggup memeluknya. Kemungkinan usianya sudah ratusan tahun lalu dan masih terjaga. Penanamnya adalah kakek-nenek desa Mendolo dahulu kala dan terus memberi manfaat pada anak cucu mereka, tak hanya berupa buah, melainkan juga oksigen, hingga mencegah longsor.
Usai beberapa langkah beranjak
dari pohon durian besar, kami berhenti pada satu kotak rumah lebah. Jenis lebah
yang dibudidayakan adalah lebah Klanceng atau meliponikultur. Lalu, pak
Tarjuki membuka atap penutup sarang lebah dan memperlihatkan sarang lebah yang
penuh madu di dalamnya. Sontak semuanya langsung berkerumun, penasaran melihat
rupa sarang lebah dan letak madu di dalamnya.
Usai menjelaskan mengenai
proses budidaya, karakter lebah klanceng, serta keunikan madu yang dihasilkan,
bapak Tarjuki mengajak kami untuk “Nyeruput” madu langsung dari sarangnya.
Lhoh, gak bahaya ta? Apa tawonnya nggak nyerang? Ternyata tidak. Pak
Tarjuki meyakinkan bahwa lebah yang ia budidayakan tidak menyengat. Kemudian,
beliau mengambil rumput dan memotongnya menjadi beberapa buah, lalu
memberikannya pada kami.
“Ini sedotannya, pakai
rumput”
Ide sedotan rumput itu membuat kami tersenyum, karena ramah lingkungan dan mudah ditemukan di hutan. Akhirnya, kami pun mendapat kesempatan untuk nyeruput madu dari sarangnya secara bergantian. Jika dilihat sekilas, sarang lebah klanceng tersebut berbentuk bulat-lonjong, seperti bola-bola kecil yang berisi madu di dalamnya. Ruang-ruang lonjong itu saling terhubung satu sama lain, menciptakan pola-pola seperti ranting pohon.
Warna madu dalam satu
kotak juga beragam. Ada yang coklat cerah hingga coklat pekat, seperti kopi
tubruk. Uniknya, rasanya juga beragam. Ada yang manis, manis-pahit seperti kopi,
sedikit gurih, serta asam menyegarkan, bikin mata melek. Menurut pak Tarjuki,
rasa madu bisa berubah-ubah sepanjang musim. Pak Sutiknyo sendiri pernah
mencicipi madu dari sarang yang sama namun rasanya seperti es campur.
Usai “nyeruput” madu
langsung dari sarang lebah, kami beranjak menujuk rumah kayu di tengah hutan.
Bangunan pondokan ini punya teras lebar, kamar mandi, dan satu buah kamar yang
bisa digunakan menginap. Rupanya, rumah ini sering digunakan untuk aktifitas
kelompok tani hutan (KTH) desa Mendolo, seperti kumpulan hingga pelatihan. Di
depan pondokan, ada papan besi bertuliskan “Kelompok Tani Hutan PODODADI”.
Di Pondokan itu, kami kembali disuguhi madu dari kotak kayu yang dibawa pak Tarjuki. Beliau mengambil daun pisang, lalu memotong sarang madu dari kotak dan meletakkannya ke atas daun pisang tersebut. Kami pun mengambilnya dan langsung memasukkannya ke mulut. Sarang madu berwarna coklat itu seperti permen karet yang mengkerut seiring madu didalamnya disesap habis. Hemmm … rasanya tak kalah nikmat.
Lebah tak hanya memberi
manfaat bagi manusia berupa hasil madu, namun juga membantu penyerbukan aneka
tanaman dan pepohonan di hutan. Coba bayangkan bila tak ada lebah, maka tanaman
di hutan akan susah berkembang biak karena tidak ada yang membantu proses
penyerbukan. Jika itu terjadi, manusia akan rugi karena kehilangan keragaman
pangannya.
Merintis Desa Wisata berbasis Konservasi Alam (Ecotourism)
Pada hari kedua di Desa
Mendolo (Minggu, 24/12/23), tim MLH Jawa Tengah bersama Lazizmu Pekalongan
menuju Gedung Desa Mendolo, mempersiapkan pelatihan perintisan desa Wisata.
Adapun tim MLH Jawa Tengah adalah bapak Casroni Raska, S.Psi, Psi. selaku sekretaris majelis, lalu Alif Syuhada wakil sekretaris majelis, Miftahuddin, S.E., M.M. selaku bendahara majelis, dan Kang Tris (Trisno, S.Psi.) anggota majelis yang menjadi pemateri utama dalam perintisan desa wisata berbasis konservasi alam. Sedangkan dari Lazizmu Pekalongan hadir bapak Sutiknyo.
Sebelum masuk sesi
materi, ada sambutan dari Kepala Desa (Kades) Mendolo dan MLH Jawa Tengah.
Dalam sambutannya, bapak Kades Mendolo menyampaikan terimakasih sudah berkenan
bermain di desa Mendolo dan menyelenggarakan pelatihan perintisan desa Wisata.
Harapannya, mimpi untuk membangun desa wisata berbasis konservasi hutan bisa
direalisasikan.
Selanjutnya, sambutan
dari MLH Jawa Tengah disampaikan oleh bapak Casroni. Dalam sambutanya, bapak
Casroni mengapresiasi sikap hidup masyarakat desa Mendolo yang peduli pada
kelestarian alam. Hutan, pohon-pohon besar yang dijaga masyarakat desa Mendolo
turut memasok oksigen pada dunia, serta air bersih untuk masyarakat yang hidup
di bawah pegunungan Lebakbarang. Tentu hal ini menjadi amal jariyah yang sangat
besar.
“Panjenengan di
sini sudah menyuplai oksigen ke Australia, bahkan sampai Timur Tengah” terang
Pak Casroni.
Melihat kearifan masyarakat desa Mendolo yang patut diteladani dan menjadi sumber inspirasi bagi kalangan lebih luas, bapak Casroni mendorong agar desa Mendolo menjadi prototipe atau percontohan (best-practice) dalam hal konservasi alam. Caranya melalui wisata berbasis ecotourisme, dimana target utamanya adalah edukasi penyadaran masyarakat untuk mencintai alam.
Sesi materi disampaikan
oleh Kang Tris, dengan dipandu oleh Alif Syuhada. Secara umum, sesi materi
terbagi menjadi tiga meliputi: 1) mengubah pola pikir dalam membangun desa
wisata, 2) melakukan analisis potensi desa, 3) menyusun paket wisata desa.
Kang Tris menyampaikan
bahwa mengembangkan desa, atau membuat pariwisata desa, itu bisa dilakukan
dengan memanfaatkan hal yang sudah ada. Tidak perlu menunggu membangun spot
atau infrastruktur tertentu yang membebani atau di luar kemampuan desa. Kang
Tris menceritakan perjalanannya mengembangkan dusun Tanon yang semula hanya
bermodalkan aktifitas sehari-hari masyarakatnya, seperti bertani, beternak,
dolanan ndeso, serta tarian tradisional. Tak perlu mengada-adakan sesuatu
yang tidak ada di desa.
“Lihatlah hal-hal yang sederhana dari sudut pandang berbeda, lakukan dengan cara yang berbeda, lalu dikompilasi menjadi materi pembelajaran, dan nikmati prosesnya” ujar Kang Tris.
Kurang lebih selama satu
jam, peserta akhirnya bisa melihat dan menyadari bahwa hal-hal sederhana yang
selama ini mereka miliki, serta kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari
rupanya sangat berharga untuk dibagikan. Kang Tris juga mengaku, ia menemukan
banyak sekali potensi desa Mendolo yang bisa dikemas menjadi edukasi-wisata.
Mulai dari alamnya, profesi local, budaya, hingga produk yang dihasilkan.
Usai menyadari potensi
desa serta bernilainya apa yang mereka lakukan, peserta diajak untuk membedah
desanya dan berlatih membuat paket wisata edukasi dari potensi yang mereka
miliki. Sesi ini diawali dengan pemaparan materi kemudian dilanjutkan dengan
praktik dan presentasi. Warga desa Mendolo terlihat sangat antusias saat
mengalisis desanya dan bersemangat mempresentasikan potensi wisata desa mereka.
Di akhir sesi diskusi,
bapak Sutiknyo dari Lazizmu Pekalongan menyampaikan terimakasih pada tim MLH
PWM Jawa Tengah yang sudah bersedia berbagi ilmu dan semangat untuk desa
Mendolo. Semula, program desa wisata desa Mendolo akan dimulai pada tahun 2025
karena berpikir bahwa membangun desa wisata itu membutuhkan anggaran besar,
serta terlebih dahulu punya infrastruktur yang bagus. Ternyata tidak. Membangun
desa wisata rupanya bisa dilakukan dari hal sederhana, memanfaatkan apa yang
ada di desa, seperti yang dilakukan Kang Tris di Desa Menari.
Oleh sebab itu, Lazizmu
Pekalongan akan memfollow up kegiatan pelatihan perintisan ini dengan memulai
penyusunan paket wisata desa Mendolo pada Januari mendatang (2024). Misi
membangun desa wisata di Mendolo pun dapat dilakukan lebih cepat dan mudah.
Warga Desa Mendolo sudah
selesai membuat hutannya hijau, sejuk, dan indah. Mereka selalu berupaya keras
menjaganya dan melestarikannya untuk anak cucunya. Selanjutnya, hutan yang
hijau lestari akan dijadikan daya ungkit untuk meningkatkan masyarakat
sejahtera dan Makmur, salah satu pintunya adalah menjadikan desanya sebagai Desa
Wisata Berbasis Edu-Ecoforestri Tourism.
Di akhir acara, kami bersama
masyarakat desa Mendolo meneriakkan yel-yel berbunyi “Desa Wisata Mendolo,
Tetap Lestari, Makmur, dan Misuwur. Yesss …!!!”
Posting Komentar untuk "MLH PWM Jawa Tengah & LazizMU Pekalongan Melakukan Pendampingan Perintisan Desa Wisata Berbasis Konservasi di Desa Mendolo, Lebakbarang, Pekalongan"