Hadapi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan, Para Peneliti dan Petani Muhammadiyah Ingin Miliki Varietas Beras Sendiri


Muhammadiyah kian serius memperhatikan perubahan iklim dan ketahanan pangan. Dua isu yang menjadi perhatian dunia. Dampak perubahan iklim sudah terasa di Indonesia.

Hujan di bulan Juni sudah bukan fenomena yang aneh. Dulu guru Geografi selalu mengajarkan bahwa musim di Indonesia terbagi dua. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober hingga April, dan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober. Jika di Jawa, guru mengajarkan cara menghafal musim hujan dengan O-Atis (Jawa atis : dingin), dan musim kemarau dengan A-O (Jawa aoo : reaksi saat kena panas).

Pergeseran musim hujan dan musim kemarau disebabkan oleh perubahan iklim (climate change). Tidak menentunya musim sangat mempengaruhi pola dan waktu tanam tanaman pangan.

Pola dan waktu tanam dapat diartikan sebagai pengaturan cara dan waktu menanam tanaman pangan yang disesuaikan dengan kondisi lahan, curah hujan, dan ketersediaan air di suatu wilayah dalam setahun. Musim yang tidak menentu berdampak pada kegagalan panen. Akibatnya, ketersediaan tanaman pangan untuk kebutuhan masyarakat menjadi terganggu. Di sinilah dipahami bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Kegelisahan terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan mengusik Muhammadiyah. Melalui Lazismu, Majelis Lingkungan Hidup (MLH), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah menginisiasi Forum Discussion Group (FGD).

FGD diselenggarakan pada hari Rabu, 28 Agustus 2024 bertempat di ruang rapat Lazismu Gedung Lt 5 PWM Jawa Tengah. FGD menghadirkan pemulia tanaman padi sekaligus Dewan Pakar MPM PWM Jawa Tengah Prof. Ir. Totok Agung Dwi Haryanto, M.P. Ph.D dari Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed); Dr. Ir. Gatot Supangkat, M.P., IPM,. ASEAN Eng peneliti, ketua LPM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sekaligus wakil Ketua MLH Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dr. Muchammad Sobri, S.Pt., M.P. peneliti dan penemu Bioreaktor Kapal Selam (BKS) sekaligus Ketua MLH PWM Jateng; Ir. Fatchur Rochman Ketua MPM PWM Jateng; dan Ir. Hery Sugiartono ketua Jama`ah Tani Muhammadiyah (Jatam) Jawa Tengah.


Prof. Totok adalah peneliti dan pemulia varietas padi dengan nama resmi Inpago Unsoed Protani. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan yang dilakukan oleh Prof. Ir. Totok Agung Dwi Haryanto, MP, Ph.D bersama Dr. Agus Riyanto, SP, MS dan Dr. Dyah Susanti, SP, MP. Mereka adalah pemulia padi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Bersama MPM dan Jatam pada tanggal 11 Agustus 2024 telah melakukan panen perdana di lahan seluas 6,5 hektar di Desa Kenduren Kecamatan Wedung Kabupaten Demak.

Dr. M. Sobri, sebagai peneliti dan penemu BKS telah berhasil mengubah gas metan yang diolah menjadi listrik yang dapat dikembangkan menjadi energi baru terbarukan yang disimpan dalam bentuk aki maupun baterai. Listrik hasil konversi gas metan dipergunakan untuk sistem pertanian terpadu dengan teknologi Internet of Things (IoT). LPM UMY dan MLH PWM Jateng telah melakukan kesepakatan kerja sama dalam pengembangan sistem pertanian terpadu dengan teknologi EBT ber IoT. 

Sebelum acara dimulai, Dodok Sartono, SE., MM, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah memberikan apresiasi terhadap perjuangan Lazismu, MLH, dan MPM sebagai pejuang Revolusi Hijau 2.0. Dari literatur, Revolusi Hijau 2.0 merupakan evolusi dari revolusi hijau pertama yang terjadi pada pertengahan abad ke-20. Konsepnya melibatkan penggunaan teknologi modern, inovasi, dan pendekatan berkelanjutan dalam produksi pangan. Tujuan utama revolusi hijau 2.0 adalah untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan mampu memenuhi kebutuhan pangan dunia.

FGD dimulai pukul 14.30 WIB dengan pemantik pembuka Dr. M. Sobri yang menyampaikan perhatian dunia menghadapi perubahan iklim dan ketahanan pangan utamanya pengaruh emisi gas rumah kaca khususnya gas metan dan karbondioksida pada pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara dalam bentuk pabrik dan kendaraan bermotor menyebabkan kandungan karbon di udara kian tinggi.

Berdasar inilah diperlukan tanaman yang bisa menyerap karbon. Salah satunya adalah tanaman padi. Tanaman yang paling banyak ditanam petani. Solusi untuk ini diperlukan varietas tanaman padi yang menyerap banyak karbon. Harapannya varietas padi tersebut mampu mengurangi polusi dengan menurunkan jumlah karbondioksida di udara.  Ini dikenal dengan kredit karbon. Hal ini menjadi tugas dan keahlian Prof. Totok yang dibersamai oleh Dr. M. Sobri dalam pengaturan dinamika nutrien (karbon) yang akan dirangkai dalam varietas padi tersebut.

MLH PWM Jateng bersama LPM UMY memiliki tugas untuk pertanian terpadu dengan melakukan pengolahan tanah yang sedikit melepas karbon di udara. Istilah yang dipakai adalah pertanian rendah karbon atau Low Carbon Agriculture (LCA). Selain karbon, pengolahan lahan juga menekan keluarnya gas metan (CH4) dalam tanah ke udara. Salah satu caranya dengan Bioreaktor Kapal Selam, Sistem kerja BKS menangkap gas metan dan dijadikan listrik sehingga bisa mengurangi pembakaran karbon dari energi fosil untuk tujuan energi apapun.

Berdasar tujuan-tujuan tersebut maka diperlukan sinergitas dan kolaborasi dari para ahli pertanian dan lingkungan hidup. Muhammadiyah memiliki ahli pertanian Prof. Totok dan ahli dinamika nutrien Dr. M. Sobri. Lazismu, MLH, MPM menjadi penggerak agar tujuan bisa terwujud. JATAM sebagai jaringan pelaksana dapat memperoleh manfaat dalam kedaulatan pangan.

Dr. Gatot menyampaikan bahwa padi tidak hanya terkait dengan kemanfaatan mencegah stunting. Faktor lingkungan terutama penyerapan karbondioksida harus diperhatikan. Ilmu dasar tentang ini adalah respirasi merupakan kebalikan dari fotosintesis. Dalam fotosintesis, tanaman menyerap karbon menghasilkan oksigen buat respirasi manusia. Sebaliknya respirasi menyerap oksigen untuk menghasilkan karbondioksida bagi tanaman. Tanaman padi punya manfaat dalam menyerap karbon dioksida, dan melepaskan oksigen agar makhluk hidup seperti manusia bisa bernapas.

Prof, Totok menyambut baik semangat Lazismu, MLH, dan MPM untuk membangun mimpi bersama memiliki varietas padi sendiri, padi yang bisa menyerap banyak karbon. Beliau memberi advice untuk melakukan penelitian menghitung jumlah karbon dalam jerami kering per hektar. Selain itu diperlukan alat khusus untuk mengukur karbon. Meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar, Prof. Totok yakin jika masing-masing pihak mulai berfikir dan memberi konstribusi meski tidak harus mahal, cita-cita varietas padi yang menyerap banyak karbon dapat segera terwujud.

Ir. Hery selaku ketua Jatam menambahkan dari sudut pandang petani agar cita-cita padi berkarbon mampu menekan harga jual beras yang masih tinggi. Beliau memberi contoh India dengan konsep pertanian zero waste. India mampu menjual gula 4 ribu per kilogram. Harga murah tersebut disubsidi nilai dari pengolahan limbah. Harapannya harga jual gabah yang tinggi dan proses penggilingannya dapat disubsidi dari karbon. Selain itu pengolahan subsidi juga dapat diperoleh dari pengolahan sekam. Kandungan bio silika di kulit padi mencapai 14%. Bila berasnya dihargai 10 ribu, maka sudah untung apabila limbah sekam dikelola dengan baik.

Ir. Fathcur Rochman, selaku ketua MPM mengatakan MPM sebagai Unit Pembantu Pimpinan fokus pada bidang perberasan. MPM berupaya untuk menekan harga beras. Walaupun harga gabah tinggi bisa disubsidi dari pendapatan lain. MPM sudah menyiapkan JATAM yang hingga saat ini telah ada di 22 kota dan kabupaten. MPM menyambut baik varietas padi yang bisa menyerap banyak karbon maupun yang tidak banyak menghasilkan gas metan.

FGD di kantor PWM berakhir pukul 16.30 WIB. Adapun yang turut aktif diskusi hingga akhir antara lain; dua perwakilan dari Lazizmu Mas Fahri dan Mbak Kiki, Pak Budi dan Pak Qoyyun dari JATAM Pati, Pak Budi Alwi S.Psi. Psi, Pak Jude Artha, ST, dan Mas Irwan, MMR.

Diskusi dilanjutkan di ruang tunggu Stasiun Kereta Api Poncol Semarang sambil menunggu kereta Prof Totok menuju Purwokerto. Hasil diskusi disepakati untuk segera mengambil tindak lanjut dengan melakukan pertemuan di BKS Pati. Pukul 18.40, seluruh rangkaian FGD berakhir dengan membawa mimpi Muhammadiyah memiliki varietas padi sendiri.

Reportase dan penulisan : Irwan Setiabudi, MMR

Editor : Alif Syuhada

Posting Komentar untuk "Hadapi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan, Para Peneliti dan Petani Muhammadiyah Ingin Miliki Varietas Beras Sendiri"